Senin, 31 Januari 2011

Refleksi Diskusi; Nasib Film Indonesia

Tidak dapat disangkal, bahwa budaya sinema Indonesia merupakan hasil difusi (jika tidak mau dikatakan impor) kebudayaan barat yang kini tengah berakulturasi dengan sendi-sendi kehidupan masyarakat kita. Sayangnya, mengutip pernyataan Garin Nugroho pada diskusi film pada 29/01/2011 di Teater Arena, Taman Budaya Jawa Tengah, Surakarta, bahwa kini sinema Indonesia tengah mengalami “kematian” nya kembali. Ramalan akan pendeknya siklus kehidupan film Indonesia memang telah terbukti dalam beberapa waktu terakhir, dan beberapa tanda-tanda “kiamat” rutin ini pun tengah marak bermunculan.
Kali pertama mendengar istilah sinema Indonesia, segera muncul gambaran mengenai film-film humor, seks, horor yang berkali-kali dilihatpun, selalu nampak tak bermutu. Selain itu, ruang lingkup dunia sinema Indonesia selalu merujuk pada wilayah DKI Jakarta yang notabene dianggap oleh mayoritas orang sebagai pusat diproduksinya film-film kelas nasional. Reaksi semacam ini wajar saja bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, karena tak dapat dipungkiri, kenyataanya memang demikian sekalipun film-film alternatif mulai menunjukkan eksistensinya di daerah-daerah.
Sebenarnya, ketika berbicara sinema Indonesia maka kita tidak dapat melepaskan diri dari konteks ke-Indonesiaan. Karena, tidaklah pas jika sekedar memadukan konsep sinema yang diciptakan dalam kondisi situasi barat kedalam konteks ke Indonesiaan yang notabene, sangat berbeda kondisinya tanpa adanya pemikiran yang mendalam mengenai kedua konsepsi tersebut. Jadi, apakah yang dimaksud konteks ke Indonesiaan dalam perfileman Indonesia?
Dewasa ini, makin banyak tafsir mengenai istilah Indonesia ini yang kini justru mengaburkan batasan-batasanya oleh fenomena banjir informasi pasca globalisasi. Sekalipun demikian, dasar pembentuk konsepsi Indonesia selalu bersandar pada pemahaman mengenai konsep nasionalisme. Yakni, memandang Indonesia sebagai suatu kesatuan integral wilayah negara (nation state) dan sebagai negara bangsa yang berdaulat. Tentunya, ada pula kesadaran bahwa kita merupakan bagian dari masyarakat Indonesia tersebut. Tanpa konsep nasionalisme, istilah Indonesia tidak akan muncul dalam pembicaraan ini.
Kemudian, ketika menambahkan unsur budaya sinema kedalam konteks ke-Indonesia-an, akan muncul sebuah tata ideal mengenai perumusan Film indonesia yang seharusnya memang sudah oleh beberapa pihak dibuat dan diterjemahkan dalam konteks Indonesia. Dari mulai konteks kekuasaan hingga pada era reformasi yang mengedepankan demokrasi. Seperti beberapa usaha yang dilakukan Masyarakat Film Indonesia (MFI) dalam Sidang Uji UU Film No. 8/1992 tentang Sensor Film di Mahkamah Konstitusi (13/02/2008). Secara formal, telah tercipta berbagai tatanan ideal tersebut. Lihat saja, konsepsi dunia perfileman nasional. Sedangkan pada wilayah praktis hingga informal, tatanan tersebut didukung oleh kemunculan insan dan pegiat-pegiat film, sineas, kritikus, penikmat, lembaga-lembaga film dan festival-festival baik dari mainstream maupun alternatif yang mendapatkan dukungan oleh pemerintah maupun pihak swasta. Namun, kenapa tata ideal tersebut hingga kini belum berjalan sebagaimana mestinya?
Sejarah media tontonan di wilayah Indonesia memang selalu memiliki kecenderungan hanya berperan sebagai media saja. Wayang, misalnya. Diluar fungsi menghibur, media ini mencoba menyebarkan simbol-simbol dan nilai-nilai kebudayaan agar dapat dipelajari dan kemudian dilanggengkan oleh masyarakat penontonnya. Semacam media dakwah. Wayang diciptakan sebagai pelanggeng konvensi-konvensi sosial yang ada di masyarakat dimana ia dilahirkan. Sejalan dengan sinema yang kali pertama tercipta dengan situasi kondisi masyarakat barat, membuatnya kemudian menjadi sebuah bentuk ekspresi budaya yang menyatu dengan berbagai unsur-unsur kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat yang melingkupinya. Katakanlah, bagaimana ketika film menjadi sebuah industri seperti di Holiwood. Di sini, bukan semata film sebagai produk sinema yang berbicara, tapi juga berbagai struktur pendukungnya seperti sistem ekonomi pasar, sistem distribusi, hak cipta, undang-undang, pendidikan, apresiasi dan sebagainya membuat eksistensi karya-karya hasil budaya sinema tersebut menjadi langgeng dan lestari.
Ketika produk dan konsep ini dikawinkan di Indonesia dengan nama Sinema Indonesia, pastinya akan terjadi beberapa ketidak sinkronan (sehingga pasti dibutuhkan usaha-usaha pen-sinkronanan). Budaya film membutuhkan pra kondisi yang tertentu untuk dapat bekerja sebagaimana mestinya. Seperti budaya intelektual, demokrasi, keterbukaan, ekonomi pasar(industri perfileman), kedaulatan hukum (hak cipta), dan sebagainya, terlepas dari kebutuhan yang sifatnya teknis. Hal itu tentu tidak bisa kita temui di Indonesia (paling tidak untuk saat ini). Sehingga, kejatuhan film indonesia sebagaimana dikhawatirkan banyak pihak-pun terjadi. Sedikit sinis, dilihat secara lebih mendasar, nasib buruk serupa juga telah terjadi di banyak budaya akulturasi lain dalam masyarakat kita, tentunya ketika dibenturkan dengan asumsi ke-Indonesia-an juga. Lihat saja Sistem demokrasi, tata negara, teknologi media seperti Internet, Telepon seluler, bahkan lebih mendasar, Pendidikan Formal, dan masih banyak lagi.
Hal ini jelas membuat budaya sinema, yang tidak bisa hidup tanpa dukungan struktur-struktur yang membentuknya tersebut, semakin kehilangan daya hidupnya. Sebenarnya, kekacauan seperti ini sudah terjadi jauh sebelum budaya sinema berusaha menyesuaikan diri dengan kondisi situasi masyarakat Indonesia pasca reformasi. Namun, tetap saja, usaha formalisasi sinema era Orde Baru juga mengalami kegagalan bukan pada tingkat konseptual, melainkan pada tataran prakts.
Menurut penelitian Eka (2010) dalam konteks Indonesia, perfileman di tanah air pernah mengalami 2 masa krisis, yakni periode 1957-1968 dan 1992 sampai 2000. Berdasarkan penelitian dengan melakukan penelusuran dokumen dan wawancara mendalam dengan banyak pihak terkait hingga akhirnya dianialisis dengan model analisis interaktif Milies dan Huberman, ditemukan hasil bahwa pada periode pertama (1957-1968) krisis perfileman tanah air mengalami kemunduran akibat konstelasi politik. Film-film impor yang niatnya digunakan sebagai media pengembang justru menjadi algojo yang membunuh film-film nasional. Kemudian pada periode kedua (1992-2000) kemunduran sinema Indonesia dipengaruhi oleh 4 hal: pertama, pesatnya perkembangan teknologi atau industri audio visual home entertainment (kaset video, laser disc, video compact disc, digital video disc) sebagai media tontonan alternatif, kedua, Membanjirnya film Impor, ketiga, Perkembangan stasiun televisi swasta, keempat, Mutu film yang relatif rendah, dan kelima, perubahan tuntutan pasar.
Karena terlalu banyak yang dibahas dalam Tesis tersebut, jadi mungkin akan penulis bahas pada tulisan-tulisan selanjutnya. Sementara, dalam artikel ini, disimpulkan bahwa melihat potensi pembangunan pada milenium ke tiga, disebutkan pula oleh beberapa pengamat film utamanya pasca reformasi, sektor perfileman Indonesia dianggap tengah mengalami kebangkitan. Namun, tidak sedikit pula yang meragukan hal itu, termasuk mas Garin dalam diskusi kemarin. Sembari berpikir realistis, merenungkan diskusi bersama beliau, saya berpendapat bahwa kecil sekali (jika tidak dikatakan tidak ada) kemungkinan bahwa akan muncul masa kebangkitan dunia perfileman minstream maupun film alternatif Indonesia yang dicita-citakan seperti halnya yang terjadi di negara-negara asalnya, selama kondisi situasi politik, sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat tidak berubah secara_katakanlah_radikal. (yes)

Minggu, 02 Januari 2011

Komunikasi Kebudayaan

“Tanpa komunikasi, kebudayaan apapun akan mati”.
Cuplikan pendapat John Fiske dalam pengantar bukunya Cultural And Communication Studies, Sebuah Pengantar Paling Komperehensif di atas menggambarkan dengan jelas betapa penting komunikasi dalam kehidupan manusia. Terlebih dalam dunia modern, komunikasi tidak hanya sekedar mendasari segala macam interaksi sosial yang dilakukan manusia. Teknologi komunikasi yang kini berkembang sedemikian rupa membuat tidak ada satu masarakat modern yang mampu bertahan tanpa komunikasi.
Komunikasi atau dalam bahasa Inggris disebut communication berasal dari kata Latin communication, dan bersumber dari kata communis yang berarti sama. Pengertian ini menunjukkan bahwa komunikasi merupakan proses transaksional, yakni bahwa komunikasi adalah proses yang secara berkesinambungan dan dinamis mengubah pihak-pihak yang berkomunikasi. Hal ini sejalan dengan pengertian komunikasi menurut Gudykunst & Kim, yang dikutip oleh Deddy Mulyana sebagai proses transaksional, simbolik, yang melibatkan pemberian makna antara orang-orang.
Bersandar pada pendekatan humanistik, konseptualisasi komunikasi sebagai proses transaksional ini dalam pengertian tertentu merupakan sebuah peristiwa sosial, yakni peristiwa yang terjadi ketika manusia berinteraksi dengan manusia lain. Ketika individu-individu tersebut berinteraksi, maka akan terjadi proses belajar meliputi aspek kognitif dan afektif, proses penyampaian dan penerimaan lambang-lambang (komunikasi) dan mekanisme penyesuaian seperti sosialisasi, permainan peranan, identifikasi, proyeksi, agresi, dan sebagainya.
Proses komunikasi sebagai peristiwa sosial tersebut nampak pada seluruh proses kehidupan manusia dalam perjalanannya belajar menjadi manusia. Bayi manusia tidak lebih dari seonggok daging sampai ia belajar mengungkapkan perasaan dan kebutuhannya melalui tangisan, tendangan, atau senyuman. Segera setelah ia berinteraksi dengan lingkungan sosial di sekitarnya, terbentuklah perlahan-lahan apa yang menjadi kepribadiannya. Manusia tidak dibentuk oleh lingkungan, namun oleh caranya menerjemahkan pesan-pesan lingkungan yang diterimanya. Lingkungan yang dimaksud tidak hanya berupa lingkungan fisik tapi juga lingkungan sosial dan budaya melalui jalur komunikasi.
Perubahan perilaku individu akibat interaksinya dengan kondisi sosial ini terjadi akibat apa yang disebut Baron & Byrne sebagai social influences (Pengaruh Sosial). "Social influences occurs whenever our behaviour, feeling, or attitudes are altered by what others say or do.." Jadi, pada dasarnya, sejalan dengan pandangan strukturalisme sosial, manusia adalah bagian dari keseluruhan sistem sosial dalam masyarakat yang saling pengaruh-mempengaruhi satu sama lain secara dinamis dan berkesinambungan.
Pengertian komunikasi pun semakin meluas hingga menyentuh ranah budaya. Karena menurut Fiske, terdapat keterkaitan erat antara unsur-unsur budaya dan komunikasi dalam membangun relasi dan kehidupan bersama. Ia menegaskan bahwa komunikasi adalah sentral bagi kehidupan budaya kita. Hal tersebut sejalan dengan pandangan komunikasi sebagai interaksionisme simbolik yang menyebutkan bahwa makna-makna dalam kelompok sosial dilanggengkan melalui interaksi yang terjadi di dalamnya. Interaksi sosial memberikan, melanggengkan, dan mengubah aneka konfensi seperti peran, norma, aturan dan makna-makna dalam suatu kemompok sosial. Konsekuensinya, komunikasi kemudian selalu melibatkan studi kebudayaan dan berintegrasi sebagai suatu unsur yang tidak dapat dipisahkan..

Internalisasi Nilai-Nilai Budaya di Tengah Globalisasi
Kondisi yang sekarang tengah terjadi di Indonesia, mirip dengan ketika bangsa India memasukan unsur-unsur budaya mereka melalui proses akulturasi pada masyarakat Jawa, Khmer, dan Indo China, melalui jalur perdagangan dan pernikahan. Bedanya, kini jalur tersebut telah didominasi oleh negara-negara barat sebagaimana ramalan Roosevelt yang mengatakan bahwa abad ke-21, jalur perdagangan dan alur sejarah akan beralih dari wilayah atlantik menuju negara-negara di bagian pasifik dan Asia Timur termasuk Indonesia. Perubahan jalur perdagangan dan sejarah ini biasa kita kenal dengan dengan nama Globalisasi.
Globalisasi yang didominasi oleh filsafat barat, didukung dengan berbagai bukti kemajuan teknologi dan keberhasilan ekonomi yang dicapainya seringkali memunculkan asumsi bahwa budaya tradisional lokal dianggap sebagai penghambat pembangunan karena dianggap tidak lebih rasional daripada budaya negara-negara maju. Kondisi ini membuat internalisasi budaya asing jauh lebih cepat daripada budaya ibu kita sendiri. Celakanya, kemajuan teknologi komunkasi mendorong percepatan proses pertemuan budaya tersebut hingga pada titik yang hampir-hampir tidak terbayangkan.
Padahal, para ahli sosial sepakat bahwa proses difusi budaya asing tidak serta merta dapat menimbulkan perubahan menuju kemajuan. Dibutuhkan berbagai kajian dan penyesuaian unsur-unsur budaya asing tersebut terhadap kondisi lingkungan dimana difusi budaya itu terjadi. Penerimaan budaya asing tanpa melalui katalisator seperti latar belakang pengetahuan yang memadai tentang kondisi sosial dan budaya masyarakat setempat malah justru akan menghilangkan identitas suatu bangsa atau masyarakat tersebut. Sebaliknya, yang terjadi bukan proses akulturasi, melainkan kolonisasi budaya.
Di Indonesia, salah satu cara yang lazim dilakukan dalam melakukan proses internalisasi nilai-nilai budaya tradisional lokal pada masyarakat dan bangsa adalah dengan media pendidikan, baik yang dilakukan secara formal di ruang-ruang kelas maupun secara informal dalam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat. Pendidikan tidak jarang, dianggap sebagai garda depan dalam menciptakan filter dalam menghadapi globalisasi.
Sayangnya, masih banyak pihak yang menganggap segala macam pendidikan hanya bisa didapatkan di bangku-bangku sekolah saja. Padahal masih banyak media pendidikan informal lain yang dapat menjadi faktor penentu keberhasilan generasi selanjutnya dalam menjalankan misi historis bangsa mereka. Sebagaimana dikatakan Soedjatmoko, idealisme dan semangat saja tidak cukup membangun suatu pribadi bangsa yang mandiri. Dibutuhkan pula keterampilan, keahlian, dan pengetahuan yang mendalam mengenai kondisi masyarakat kita sendiri.
Ketika keterampilan dan keahlian dapat diperoleh di bangku sekolah formal, maka pengetahuan yang mendalam mengenai kondisi masyarakat kita hanya dapat dipelajari melalui proses komunikasi sosial yang kita lakukan sehari-hari di lingkungan keluarga, masyarakat, dan suku bangsa. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Mead, bahwa setiap manusia mengembangkan konsep dirinya melalui interaksi dengan orang lain dalam masyarakat melalui proses komunikasi.
Menurut C Kluchkohn kebudayaan diwariskan melalui suatu proses belajar dan bukan secara biologis. Oleh karenanya, kebudayaan merupakan pola tingkah laku yang dipelajari dan disampaikan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Ia menyebutkan, seara umum terdapat tiga proses dalam mempelajari kebudayaan. Pertama, proses belajar kebudayaan yang berlangsung sejak lahir hingga mati, yaitu dalam kaitanya dengan pengembangan perasaaan, hasrat, emosi dalam rangka pembentukan kepribadian; sekarang dikenal sebagai proses internalisasi. Kedua, karena makhluk manusia dalah bagian dari suatu sistem sosial, maka setiap individu harus selalu belajar mengenai pola-pola tindakan, agar dapat mengembangkan hubunganya dengan individu-individu lain di sekelilingnya. Proses itu kini lebih dikenal sebagai sosialisasi. Ketiga, Proses enkulturasi atau pembudayaan yaitu seseorang harus mempelajari dan menyesuaikan sikap dan alam berpikirnya dengan sistem norma yang hidup dalam kebudayaan. Tantangan muncul ketika globalisasi membuka jalur akses komunikasi sosial menembus batas wilayah antar budaya di seluruh dunia. Artinya, sejak dini kita tidak hanya dapat berinteraksi dan berkomunikasi dengan lingkungan satu keluarga, desa, dan sebangsa, melainkan juga hingga menembus berbagai batas politik dan geografis antar bangsa di seluruh dunia melalui teknologi media massa. Koran, majalah, radio, televisi, hingga internet menjadi skema rujukan baru masyarakat era modern dalam membentuk konsep dirinya.
Komunikasi massa yang menjadi ciri globalisasi ini di satu sisi memiliki dampak positif seperti semakin mudahnya akses informasi dan pertukaran pengetahuan yang dapat mendorong semakin cepatnya proses modernisasi. Namun, di sisi lain, terdapat dampak negatif terutama jika dalam menanggapi globalisasi, seseorang tidak memiliki referensi yang cukup yang digunakan sebagai katalisator informasi. Salah satu implikasinya adalah apa yang disebutBaudrillard sebagai hiperealitas. Dimana realitas rekaan (simulasi) berupa gaya hidup hedonis, konsumerisme, dan glamour pada tayangan-tayangan infotaiment, mode, gaya hidup, dan hiburan di media dianggap sebagai skema rujukan lebih dari realitas yang dialami di lingkungan nyata mereka.
Mengatasi dampak negatif globalisasi, membuat pendidikan tentang nilai-nilai kebudayaan sendiri sebagai sesuatu yang mutlak dibutuhkan. Sejalan dengan pendapat Soedjatmoko, bahwa suatu bangsa perlu menggali kembali sumber-sumber kebudayaanya untuk mencari kesinambungan pengalaman kolektifnya sendiri, sebelum memberikan respon terhadap tantangan dunia baru yang sekarang bernama globalisasi. Karena sebenarnya, redefinisi sistem nilai dalam setiap peralihan sejarah, atau kemampuan melakukan konfigurasi nilai-nilai baru yang sesuai keperluan baru merupakan ciri vitalitas suatu bangsa.
Fakta bahwa setiap manusia dilahirkan dalam suatu lingkungan sosial tertentu, maka kesukuan, disamping agama, secara tradisional merupakan aspek terpenting dalam membentuk konsep diri. Sebagaimana dikemukakanRichard D Alba, bahwa jawaban yang paling memuaskan atas pertanyaan ”siapa aku?” menyangkut keterikatan kepada asal usul, suatu kebutuhan primordial yang pada dasarnya tidak luntur oleh hamparan peradaban. Keterikatan terhadap asal usul ini dipengaruhi oleh 2 hal, sebagamana dikemukakan oleh Jalaludin Rakhmad, yakni Significant Others dan Reference Group.
Significant Others menurut Mead adalah semua orang yang memengaruhi perilaku, pikiran, dan perasaan manusia mulai dari ia dilahirkan. Melalui proses komunikasi, Significant Others mengarahkan tindakan, membentuk pikiran, dan menyentuh perasaan secara emosional. Di dalamnya termasuk keluarga, saudara, sahabat, teman-teman, guru, dan sebagainya. Reference Group yakni kelompok sosial yang secara emosional mengikat kita dan berpengaruh terhadap pembentukan konsep diri kita. Sehingga, identitas mengenai diri dan masyarakat kita memiliki kaitan yang erat terhadap konsepsi mengenai asal usul sebagaimana yang dikemukakan dalam budaya kita masing-masing. Sebagaimana ungkapan etnografi;
”Men may change their clothes,
their wife, their philosophies,
their religion, to a greater or lesser exten;
they cannot change their grandfather.”

Pengetahuan tentang diri tersebut akan meningkatkan kemampuan komunikasi, dan pada saat yang sama, berkomunikasi dengan orang lain meningkatkan pengetahuan tentang diri. Bila konsep diri sesuai dengan pengalaman kita, kita akan lebih terbuka menerima penglaman-pengalaman dan gagasan-gagasan baru, cenderung menghindari sikap defensif, dan lebih cermat memandang diri kita terhadap rang lain. Hal ini sejalan dengan apa yang disebut D. E Hamacheck sebagai konsep diri positif.
Dalam pandangan psikologi komunikasi, konsep diri memengaruhi selektivitas pesan. Yaitu, bagaimana respon terhadap pesan yang diterima, seperti; kepada pesan apa kita membuka diri, bagaimana kita mempresepsi pesan itu, dan apa yang kita ingat dari pesan tersebut. Singkatnya konsep diri menyebabkan apa yang disebut Anita Taylorsebagai; terpaan selektif (selective exposure), presepsi selektif (selective exposure), dan ingatan selektif (selective attention). Implikasinya, selektivitas pesan tersebut memengaruhi pola kita dalam menyampaikan pesan, atau yang disebut sebagai penyandian selektif (selective encoding).
Melalui konsep diri yang positif, tercipta kepribadian yang berkualitas. Dalam kepribadian yang berkualitas tersebut terdapat katalisator berupa konsep selektifitas, dimana segala pesan komunikasi yang diperoleh baik melalui saluran langsung maupun yang sifatnya tertunda tidak akan dengan mudah ditelan mentah-mentah. Sebaliknya, pesan tersebut akan diterjemahkan ke dalam konsepsi yang dilandasi pengetahuan mengenai nilai-nilai budaya yang telah dipelajari melalui berbagai media sosialisasi baik melalui lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan bermasyarakat.

Sumber:
Effendy, Onong Uchjana. 1990. Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya,
Fiske, John. 2004. Cultural And Communication Studies, Sebuah Pengantar Paling Komperehensif. Yogyakarta: Jalasutra
Koentjoroningrat. 1989. Budaya, Mentalitas, dan Pembangunan
Mulyana, Deddy. 2001. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya
Pawito. 2007. Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: LKiS.
Poespowardjoyo, Soerdjanto. Strategi Kebudayaan, Suatu Pendekatan Filosofis. Gramedia:Jakarta
Poerwanto, Hari. 2005. Kebudayaan & Lingkungan Dalam Perspektif Antropologi. Pustaka pelajar; Yogyakarta
Soedjatmoko. 2010. Menjadi Bangsa Terdidik Menurut Soedjatmoko. Kompas Media Nusantara; Jakarta.
Rakhmad, Jalaluddin. 1991. Psikologi Komunikasi Edisi Revisi. Remaja Rosdakarya: Bandung.
Winarno, Budi. 2008. Globalisasi, Ancaman Atau Peluang Bagi Indonesia. Erlangga; Jakarta